Nonmaleficence

Titik buta sudut pandang tenaga kesehatan

Abiyyu Siregar
11 min readMay 29, 2022
Photo by Ozzie Stern on Unsplash

Saat tingkat pertama pendidikan, terdapat salah satu mata kuliah yang wajib diikuti kami sebagai mahasiswa kedokteran. Mata kuliah itu adalah Etika dan Hukum Kesehatan, mengulas tentang aspek etika dan hukum profesi kesehatan. Mata kuliah ini tidak hanya wajib diikuti oleh mahasiswa kedokteran, tetapi juga semua fakultas Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK), seperti Kedokteran Gigi, Farmasi, Keperawatan, dan Kesehatan Masyarakat.

Sejujurnya aku tidak terlalu mengingat apa saja yang diajarkan di mata kuliah dengan bobot 2 SKS itu. Namun, aku ingat dikenalkan dengan suatu konsep penting bernama Kaidah Dasar Bioetik (disingkat KDB). KDB dalam bahasa Inggris disebut juga Basic Bioethical Principles. KDB ini merupakan prinsip atau nilai-nilai yang bisa dijadikan acuan moral seorang praktisi bidang kesehatan (life sciences) dalam menjalani pekerjaannya. KDB ini digagas oleh dua filsuf dan pakar bioetik yaitu Tom Beauchamp dan James Childres dalam bukunya berjudul Principles of Biomedical Ethics.

KDB ala Beauchamp dan Childress terdiri dari empat kaidah:

  1. Respect for autonomyMenghargai dan menghormati otonomi pasien. Bahwa pasien berhak mengambil keputusan sendiri akan apa yang dilakukan terhadap tubuhnya.
  2. Beneficence → Mengambil tindakan yang menguntungkan dan sejalan dengan kepentingan terbaik pasien.
  3. Nonmaleficence Tidak melakukan sesuatu yang dapat membahayakan atau memperburuk kondisi pasien.
  4. Justice → Memperlakukan pasien secara adil. Treat equal things equally and unequal things unequally.

Tidak ada kaidah yang lebih superior daripada yang lain, yang ada ialah kaidah yang diutamakan bergantung pada konteks dilema situasi. Hal ini dsebut juga sebagai prima facie (first impression). Pada situasi dilema etis di mana dua atau lebih kaidah saling berseberangan, seorang tenaga kesehatan harus memutuskan kaidah mana yang menjadi prima facie.

Sebagai contoh, misal ada pasien lansia dengan kanker stadium lanjut sudah menjalani perawatan di unit rawat intensif (ICU) selama beberapa minggu. Namun, terdapat pasien kritis baru yang berusia muda yang memiliki kemungkinan pulih lebih baik jika dirawat di ICU. Anggaplah tempat tidur ICU yang tersedia hanya yang sedang diisi oleh pasien kanker ini. Apa yang seharusnya dilakukan dokter? Apakah ia sebaiknya mengutamakan kaidah beneficence yang berarti mengutamakan perawatan pasien kanker hingga ada kemungkinan pulih, atau kaidah justice di mana dalam kondisi sumber daya terbatas, dokter diperbolehkan mengutamakan pasien dengan prognosis lebih baik?

Tidak ada jawaban yang mutlak. Kedua kaidah bisa diperdebatkan menjadi prima facie. Semua bergantung pada konteks situasi dilema etis yang dihadapi pasien.

Keempat kaidah ini sudah menjadi acuan etik ilmu kedokteran maupun kesehatan di hampir seluruh negara di dunia. Bioetik yang awalnya muncul di dekade 1960–1970an perlahan menjadi semakin populer dan diterima di kalangan profesional medis. Keempat nilai ini harapannya bisa menjadi prinsip standar bagi tenaga medis dalam mengarungi dunia praktik klinis yang kadang abu-abu.

Namun pendekatan penalaran moral berbasis prinsip (prinsipilisme) memiliki kekurangan. Manusia pada dasarnya akan selalu memiliki bias, yaitu kecenderungan atau prasangka terhadap satu hal daripada yang lain. Kaidah Dasar Bioetik, walau mempermudah tenaga kesehatan dalam memetakan aspek etik yang perlu dipertimbangkan, tidak mengeliminasi bias yang berpotensi mengurangi ketepatan dari pengambilan keputusan seorang praktisi kesehatan.

Dan bias ini tidak hanya muncul dari adanya kaidah dasar bioetik saja. Bias ini terbentuk dari pendidikan dan filosofi yang sudah mendarah daging dalam pendidikan seorang praktisi kesehatan.

Bias ini, menurutku, terletak pada kaidah Nonmaleficence.

Primum Non Nocere

Tenaga kesehatan maupun mahasiswa kesehatan pasti sudah akrab dengan frasa latin ini. Frasa ini memiliki arti “First, do no harm” atau “pertama, jangan membahayakan (pasien/orang lain)”. Pepatah yang diturunkan dari dokter selama puluhan generasi ini dimanifestasikan dalam kaidah Nonmaleficence.

Kaidah nonmaleficence menurutku bermakna 2. Pertama, kaidah ini merupakan refleksi kehati-hatian dokter dalam merawat dan mengobati pasien. Bahwa semua tindakan yang dilakukan dokter terhadap pasiennya berpotensi memperburuk kondisi pasien lebih lanjut. Maka, dokter yang diberi kewenangan atas hal ini oleh masyarakat perlu berhati-hati dan selalu menimbang secara rinci risk-benefit dari suatu tindakan atau pengobatan.

Yang kedua, kaidah ini tidak lain adalah wujud penghormatan tertinggi terhadap nyawa manusia (sanctity of human life). Tentu ini merupakan hal yang jelas. Tenaga kesehatan seyogyanya menolong pasien, setidaknya, agar ia tidak meninggal karena penyakit atau kondisinya. Dan tentunya nyawa manusia adalah suci, dan kita (siapapun, tidak hanya tenaga kesehatan) wajib dan seyogyanya menjaga kesucian itu dengan hidup dan menjaga kehidupan orang lain (selagi bisa).

Maka tak heran jika dokter dan semua tenaga kesehatan menjadi agen promosi kesehatan di masyarakat. Nakes, baik secaral langsung atau melalui media sosial, mempromosikan gaya hidup sehat, berkendara dengan aman, dan menaati protokol kesehatan (saat pandemi Covid-19). Namun, realita dari efektivitas promosi kesehatan ini tidak sebaik yang kita harapkan. Banyak perokok sulit berhenti merokok, pengendara motor tidak memakai helm, dan masyarakat enggan memakai masker dan kerap melanggar protokol kesehatan.

Kita mencoba membujuk dengan kaidah nonmaleficence. Bahwa nyawa kita perlu kita perjuangkan, maka kesehatan harus diupayakan. Tidak boleh kita melakukan sesuatu yang berpotensi mengurangi derajat kesehatan kita. Nyala jiwa kita tetap harus dipertahankan dengan usaha, hingga Tuhan mengangkat dengan kuasaNya.

Namun, di sinilah titik buta itu muncul. Dunia tidak hanya bilangan biner. Dunia tidak hanya hidup dan mati. Walau kita sekarang ini belum tahu bagaimana kondisi kita saat mati kelak, kita tahu hidup bukan sekadar ‘hidup’.

Hidup tak hanya hidup

Tahun lalu ketika aku masih menjalani pendidikan kedokteran, aku ditempatkan di Puskesmas Pasar Rebo. Karena lokasi rumahku di Tebet, perjalananku menuju tempat ini harus melewati beberapa daerah seperti Jatinegara, Kramat Jati, dan juga Cijantung. Cijantung ini, seperti yang kita ketahui, adalah tempat dari markas Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI Angkatan Darat.

Suatu ketika di perjalanan pulang menaiki ojek online, sang supir alih-alih melewati Jalan Raya Bogor (yang notabene dilewati 90% ojek yang saya naiki), ia malah melewati Jalan R.A. Fadillah tempat markas Kopassus ini berada.

Dan benar ternyata pada akhirnya perjalanan pulang hari itu memakan waktu lebih lama, tetapi tak apa karena aku tidak sedang buru-buru waktu itu.

Aku pun juga sebenarnya senang jika dibawa ke tempat baru yang kurang familiar, membuatku lebih terbuka wawasannya tentang suatu tempat. Kebetulan di akhir jalan itu terdapat bundaran (roundabout) yang di tengahnya terdapat patung ini.

Bagi penduduk Jakarta Timur, khususnya yang bertempat tinggal di Cijantung atau Kramat Jati, patung ini tampaknya sudah menjadi objek yang sangat familiar. Lokasinya ada di depan Graha Cijantung persis (mal kebanggaan masyarakat Cijantung, probably). Namun, hal yang membuatku tertarik dengan patung ini bukanlah patung itu sendiri, melainkan tulisan di bawahnya.

“Lebih baik pulang nama (i.e. gugur dalam tugas), daripada gagal dalam tugas.”

Sampai akhir perjalanan pulang, aku terus memikirkan kalimat ini. Apakah aku punya (atau akan punya) komitmen sekuat itu dalam bertugas. Halah, sehari menjelang ujian saja aku masih memilih tidur daripada begadang untuk belajar, apalagi mempertaruhkan nyawa demi seonggok nilai.

Sepulangnya aku dari perjalanan hari itu, aku mencari di Internet mengenai patung ini, dan ternyata memang ini adalah patung Kopassus. Sebagai pasukan elit terbaik Indonesia (dan salah satu yang terbaik di dunia), kalimat ini tampaknya menggambarkan filosofi komitmen para Baret Merah dalam menyelesaikan tugas yang diembankan kepada mereka. Sampai-sampai mereka rela nyawa melayang demi menyelesaikan tugas yang negara berikan kepadanya.

Yang membuat kalimat ini terngiang di pikiranku adalah nilai yang tertanam pada filosofi ini jelas berkebalikan dengan dokrin medis yang sangat mengutamakan nyawa manusia, termasuk nyawa kita sendiri. Jika aku ditempatkan di Kopassus mungkin aku akan “Ah, tidak apa-apa misi hari ini gagal. Asal kita masih hidup dan sehat, kita bisa coba esok hari.”

Tetapi jelas bidang lain memiliki pola pikir dan prioritas yang berbeda.

Begitu pun juga di dunia pemadam kebakaran. Filosofi “Pantang Pulang Sebelum Padam” yang sudah terpatri di setiap dinding gedung Dinas Pemadam Kebakaran di Indonesia merupakan wujud komitmen bahwa mereka siap melakukan apapun, kapanpun, dan bagaimanapun hingga api yang membara itu sirna.

Setiap mereka beraksi, jiwa raga mereka dipertaruhkan, masuk ke dalam gedung terbakar untuk menyelamatkan nyawa. Mungkin sebagian besar mereka selamat, tetapi tak jarang mereka terluka, ikut terbakar, atau bahkan meninggal dalam tugasnya. Di Amerika, tahun 2020 saja 102 pemadam kebakaran gugur dalam tugas — 72 nya berhubungan dengan pertolongan emergensi.

Honor

Kembali lagi ke kutipan patung Cijantung, aku menyadari bahwa setiap lini pekerjaan memiliki prioritas yang berbeda-beda. Dan walaupun sebagian besar dari kita sangat menjunjung tinggi nyawa dan kesehatan, tetap ada beberapa bidang yang menempatkan hal lain lebih tinggi dari nyawa ini. Bagi mereka, kehormatan diri atau honor lebih penting dijunjung tinggi daripada nyawa (dalam beberapa kasus).

Kebebasan dan keamanan yang dinikmati oleh masyarakat sipil membutuhkan orang yang berani berkorban hingga nyawanya untuk mempertahankan keamanan itu sendiri. Dalam hal ini, militer mengisi peran di nyaris semua negara di dunia. Maka, prioritas terhadap sanctity of human life yang dipegang tenaga kesehatan jelas tidak cocok jika diaplikasikan dalam doktrin militer. Namun, kecenderungan manusia untuk mempertahankan nyawanya menjadi tantangan bagi petinggi militer untuk memotivasi anak buahnya untuk merisikokan nyawanya untuk kepentingan orang banyak.

Kekaisaran Roma tampaknya menjadi salah satu pelopor pemberian tanda kehormatan bagi para prajurit yang gugur dalam pertempuran. Menurut mereka, tidak ada yang mau merisikokan nyawa mereka kecuali ada penghormatan yang diraih. Namun, filosofi ini pun juga tidak bertahan lama. Pada akhirnya, semua orang akan mengejar kepentingan pribadinya (termasuk menyelamatkan nyawanya) seperti yang dikatakan filsuf moral utilitarian Thomas Hobbes.

Maka, prajurit membutuhkan pelecut yang lebih kuat daripada konsep abstrak seperti ‘kehormatan’ dan ‘for the greater good’. Samuel Stouffer, seorang pakar etik militer, menyebutkan bahwa kohesi antarprajurit merupakan pendorong yang lebih kuat daripada kehormatan belaka. Berikut adalah kutipan dalam bukunya, The American Soldier.

“Mayoritas (prajurit) tidak mau mengambil risiko tinggi dan mengambil peran pahlawan, tetapi mereka juga tidak mau dianggap menjadi yang paling tidak layak (dalam kelompok prajurit tersebut)…kehormatan pribadi lebih bernilai dari nyawa itu sendiri bagi sebagian besar (pria).”

Ben Shalit dalam bukunya The Psychology of Combat juga menyimpulkan bahwa prajurit tidak berpegang kepada nilai abstrak yang idealis, tetapi mayoritas dari mereka (40% responden dari salah satu penelitian dia) merasa bahwa mengecewakan kompatriot atau unit sebagai ‘hal paling menakutkan dalam pertempuran’.

Salah satu dialog dalam adegan ikonik “You can’t handle the truth!” di film A Few Good Men (1992) oleh Colonel Nathan R. Jessup (diperankan oleh Jack Nicholson).

Ternyata, peer pressure tidak selamanya buruk, seperti yang dicontohkan pada unit militer ini. Kedekatan emosional dan kepercayaan antar prajurit dalam satu unit membuat mereka rela untuk mengutamakan hubungan ini daripada nyawa mereka sendiri. Walau sumbernya sebagian dari usaha menjaga citra dan kehormatan diri, hasilnya adalah prajurit yang rela berkorban bagi kawan seperjuangannya.

Patriotisme dan kehormatan prajurit dalam mempertahankan kedaulatan negaranya merupakan wujud ekstrim dari deviasi kaidah nonmaleficence. Tetapi ada juga lini profesi yang juga rela menomorsekiankan kesehatannya demi kepentingan lain. Walau tidak sampai nyawa, pengorbanan dan filosofi mereka layak untuk didiskusikan. Mereka adalah para atlet profesional.

“Coach, just let me play, please”

Atlet profesional merupakan kelompok manusia yang mendedikasikan mayoritas waktu dan tenaganya untuk mengembangkan keterampilan olahraga mereka agar bisa mendapatkan kehormatan tertinggi (dalam bentuk juara di suatu perlombaan atau pertandingan). Sebagai seorang atlet, kecelakaan kerja (dalam latihan atau pertandingan) itu sendiri sangat lumrah terjadi. Aku jadi teringat beberapa bulan lalu ketika tim favoritku Liverpool F.C. akan bertanding melawan Chelsea di Final Carabao Cup. Thiago Alcantara, gelandang Liverpool yang sudah direncanakan untuk bermain sejak menit pertama, tiba-tiba jatuh cedera saat pemanasan prapertandingan. Pertimbangan dari tim pelatih dan medis membuat akhirnya Thiago tidak jadi diturunkan dan diganti oleh pemain lain Naby Keïta.

Thiago sangat sedih terhadap keputusan ini. Bahkan ia terlihat menangis duduk di bangku cadangan. Ia pasti kecewa tidak dibolehkan bermain di laga final dan berpartisipasi dalam upaya memperoleh trofi bagi timnya. Mungkin jika tetap dibolehkan, ia akan tetap bermain walau dengan nyerinya itu. Namun, mungkin karena risiko cedera lebih berat apabila Thiago lanjut bermain, Jurgen Klopp (manajer Liverpool) memutuskan untuk tidak memainkan dia.

Thiago Alcantara (kiri) menangis di bangku cadangan, ditenangkan oleh kiper Liverpool Alisson Becker (kanan). Thiago urung bermain di laga final melawan Chelsea karena cedera saat pemanasan 1 jam sebelum pertandingan dimulai. Sumber: Daily Express

Kembali bermain atau (Return-To-Play/RTP) adalah proses yang cukup dilematis bagi seorang dokter spesialis kedokteran olahraga. Sebagai dokter, tentunya kita ingin pasien dan klien kita selalu sehat dan selalu dalam kondisi paripurna. Apabila pasien kita sakit atau cedera, kita akan memastikan pasien pulih sepenuhnya sebelum melanjutkan aktivitas seperti biasa, baik itu bekerja, berolahraga, atau keduanya (bagi atlet profesional). Namun, proses pemulihan dan kembali bermain ini menjadi dilematis bagi atlet profesional karena beberapa hal. Pertama, risiko cedera. Riwayat cedera diasosiasikan dengan risiko 4 kali lipat terjadinya cedera kembali (reinjury). Penting bagi dokter yang menangani atlet profesional untuk memastikan mereka pulih sepenuhnya sebelum bermain kembali, meskipun memakan waktu yang cukup lama.

Tetapi di sisi lain, masa karir seorang atlet sangat terbatas. Atlet bukan seperti pegawai kantor atau profesional lainnya yang bisa bekerja menaiki tangga karir selama 3–4 dekade. Olahraga high-impact seperti sepak bola, bola basket, hoki, tenis, dan sebagainya membutuhkan fisik yang prima untuk bisa bermain di level tertinggi. Dan sayangnya kapabilitas fisik manusia tidak bisa bertahan selama itu, bahkan akan menurun seiring bertambahnya usia. Maka dari itu, pemain sepak bola mungkin hanya memiliki waktu kurang lebih 15 tahun dalam karir profesionalnya (18–33 tahun) sebelum fisiknya tidak cukup kuat lagi untuk bermain dengan intensitas yang dibutuhkan.

Periode karir yang sempit ini membuat atlet merasa harus menggunakan jendela emas usia mereka untuk berlatih dan berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya penghargaan. Tentunya, cedera dapat menghambat hal itu. Mereka harus beristirahat memulihkan diri, sementara terbayang-bayang waktu mereka berkarir semakin menipis.

Tekanan dan ambisi mereka untuk terus bermain membuat mereka rela mengorbankan kesehatan jangka panjang mereka demi kejayaan saat masa karir mereka. Dalam bukunya Relentless, Tim Grover (personal trainer bagi banyak atlet elit NBA) diminta oleh Dwyane Wade untuk mencari cara agar ia tetap bisa bermain membela Miami Heat di sisa permainan NBA Finals pada tahun 2012, walaupun sebenarnya lututnya cedera berat hingga diindikasikan untuk operasi.

Dwyane Wade

Sebagai dokter yang mengutamakan kaidah nonmaleficence, tentu jika ditemukan dalam kondisi yang serupa, kita akan tidak setuju dengan pilihan sang atlet dan membujuknya untuk mengutamakan kesehatan tubuhnya. Tetapi, sebagian atlet memprioritaskan hal lain. Hal yang lebih berharga untuk diperjuangkan. Mereka rela untuk cedera di sisa karirnya karena memaksakan diri untuk bermain untuk mencapai gelar juara, daripada gagal mendapatkan gelar karena ia tidak bermain.

Mencoba memposisikan diri dalam profesi lain membuatku lebih memahami dan menghargai ragam pola pikir dan nilai yang dianut oleh masing-masing pekerjaan. Cara ini mengingatkanku juga untuk tidak ‘egois’ mengutamakan doktrin medis dalam menangani pasien, tetapi disesuaikan dengan nilai dan prinsip yang dipegang oleh pasien itu sendiri.

Apabila lansia dengan diabetes gagal menjaga gula darahnya karena kesukaannya dengan kue, tidak serta merta dokter harus menghardik dan memarahi pasien karena gagal mencapai target terapinya. Mungkin bagi dia, menghabiskan sisa hidupnya menyantap makanan favoritnya lebih penting daripada memperpanjang usia hidupnya.

Pola pelayanan kedokteran saat ini juga sudah berorientasi ke arah partisipatif: dokter dan pasien sebagai hubungan kemitraan yang setara — bahkan lebih berorientasi kepada pasien. Hal ini berbeda dengan zaman dahulu di mana dokter memegang kendali akan keputusan klinis yang dilakukan kepada pasien (otoritatif).

Maka dari itu, kita perlu memahami lebih terkait kebutuhan dan nilai yang dipegang pasien. Karena kepentingan pasien tidak selamanya sejalan dengan kepentingan kita selaku tenaga medis.

--

--